Monday, March 13, 2017

Pengertian, Konsep dan Dasar - dasar Tasawuf

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha – usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan makrifat menuju keabadian, saling mengingatkan antar manusia, serta berpegang teguh kepada janji Allah dan mengikuti syariat Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridaan – Nya. Untuk memahami makna tasawuf secara mendalam kita perlu mengetahui konsep dasar dalam ilmu tasawuf. Oleh karena itu, penulis menulis makalah untuk bisa memahami makna tasawuf secara mendalam.

B.     Rumusan Masalah
                              1.            Bagaimana pengertian tasawuf?
                              2.            Bagaimana konsep dalam tasawuf?
                              3.            Bagaimana dasar – dasar ilmu tasawuf?

C.     Tujuan Penulisan
                              1.            Untuk mengetahui pengertian tasawuf.
                              2.            Untuk mengetahui konsep dalam tasawuf.
                              3.            Untuk mengetahui dasar – dasar ilmu tasawuf.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tasawuf
Tasawuf berdasarkan asal usul katanya memiliki beberapa arti diantaranya :
                        1.            Kata tasawwuf (التصوف) adalah bahasa Arab dari kata suf yang artinya bulu domba. Orang sufi biasanya memakai pakaian dari bulu domba yang kasar sebagai lambang kesederhanaan dan kesucian. Dalam sejarah disebutkan, bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata sufi adalah seorang zahid yang bernama Abu Hasyim Al Kufi di Irak (wafat 150 H).
                        2.            Ahl Al – Suffah (اهل الصفة) yaitu orang – orang yang ikut hijrah dengan Nabi, dari Mekah ke Madinah karena kehilangan harta, mereka berada dalam keadaan miskin dan tak memiliki apa – apa. Mereka tinggal di serambi Masjid Nabi dan tidur diatas batu dengan memakai pelana sebagai bantal.
                        3.            Shafi (صافي) yaitu suci. Orang – orang sufi adalah orang – orang yang menyucikan dirinya dari hal – hal yang bersifat keduniawian dan mereka lakukan melalui latihan yang berat dan lama. Dengan demikian, mereka adalah orang – orang yang disucikan.
                        4.            Sophia(صوفى), berasal dari bahasa Yunan, yang artinya hikmah atau filsafat. Jalan yang ditempuh oleh orang – orang sufi memiliki kesamaan dengan cara yang dtempuh oleh para filosof. Mereka sama – sama mencari kebenaran yang berawal dari keraguan dan ketidakpuasan.
                        5.            Saf (صوف) pertama. Sebagaimana halnya orang yang sholat pada saf pertama mendapat kemuliaan dan pahala yang utama, demikian pula orang – orang sufi dimuliakan Allah dan mendapat pahala, karena dalam sholat jamaah mereka mengambil saf yang pertama.[1]
Pengertian tasawuf berdasarkan istilah, telah banyak dirumuskan oleh ahli, yang satu sama lain berbeda sesuai dengan seleranya masing – masing, diantaranya :
                        1.            Menurut Al Jurairi , tasawuf adalah memasuki segala budi (akhlak) yang bersifat sunni dan keluar dari budi pekerti yang rendah.
                        2.            Menurut Al Junaidi, tasawuf adalah bahwa yang Hak adalah yang mematikanmu dan Hak – lah yang menghidupkanmu, dalam ungkapan lain, Al Junaidi mengatakan bawha tasawuf adalah beserta Allah tanpa adanya penghubung.
                        3.            Menurut Abu Hamzah, tanda sufi yang benar adalah berfakir setelah dia kaya, merendahkan diri setelah dia bermegah – megah, menyembunyikan diri setelah dia terkenal, dan tanda sufi palsu adalah kaya setelah dia fakir, bermegah – megah setelah dia hina dan tersohor setelah dia bersembunyi.
                        4.            Amir bin Usman Al Makki, tasawuf adalah seorang hamba yang setiap waktunya mengambil waktu yang utama.
                        5.            Muhammad Ali Al Qassab, tasawuf adalah akhlak yang mulia yang timbul pada masa yang mulia dari seorang yang mulia yang ditengah – tengah kaumnya yang mulia.
                        6.            Menurut Syamnun, tasawuf adalah engkau memiliki sesuatu dan tidak di miliki sesuatu.
                        7.            Ma’ruf Al Karakhi, tasawuf adalah mengambil hakikat dan berputus asa pada apa yang ada di tangan makhluk.
                        8.            Al Junaedi, tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridaan – Nya.[2]
Di Barat, tasawuf lebih dikenal dengan nama Islamic Mysticism (mistisme Islam). Sebutan ini, yang juga diterima oleh kalangan sarjana muslim, sering menyesatkan, sebab perkataan mystic (mistik) selalu dihubungkan dengan amalan – amalan ilmu hitam seperti ilmu Sihir dan Nujum. Padahal tasawuf yang sejati tidak ada hubungannya dengan hal – hal seperti itu. penamaan ‘mistisme Islam’ kepada tasawuf dapat diterima kalau perkataan itu dipahami sesuatu dengan pengertiannya yang benar.
Secara etimologi, kata ‘mistik’ atau ‘mystic’ berasal dari bahasa Yunani myein, dan ada kaitannya dengan ‘mysteri’, bermakna ‘menutup mata’ atau ‘terlindung di dalam rahasia’. Dalam pengertian yang benar tersirat adanya suasana kekudusan dan kekhusukan dalam upaya menangkap rahasia Yang Maha Agung melalui disiplin spiritual yang keras dan sungguh – sungguh. Apabila tasawuf dapat disebut ‘mistisisme Islam’ tentulah ia boleh diberi makna sebagai ajaran kerohanian penuh suasana kekudusan dan kekhusukan berkenaan ‘menutup mata’ atau ‘sesuatu yang terlindung dalam rahasia’.[3]

B.     Konsep Tasawuf
                        1.            Maqamat
Maqamat adalah suatu konsep dalam ilmu tasawuf yang digunakan oleh peserta Tasawuf () untuk mengukur keberadaan tingkat spiritualnya dari satu maqam kepada maqam yang lebih tinggi tingkatannya. Istilah tersebut, baru dikenal pada perkembangan tasawuf abad II H, yang sebagian ahli tasawuf mengatakan bahwa istilah itu mulai dipopulerkan oleh Dhu al – Nun al – Misri sebagai sufi sunni.

Menurut al Sarraj al Tusi, tingkatan dalam maqamat ada tujuh yaitu :
a)      Maqam taubat
Taubat merupakan awal berangkatnya peserta tasawuf menuju kepada tingkatan maqam berikutnya.
b)      Maqam wara’
Manusia yang melakukan wara’ adalah ia selalu berbuat dengan cara yang hati – hati, menempatkan hak – hak Allah dan hak – hak manusia dengan cara yang sebaik – baiknya, dengan di kawal oleh sikap murawabah yang selalu ingat kepada Allah.
c)      Maqam zuhud
Sikap zuhud yang melekat pada diri peserta tasawuf, tercermin dari sikapnya yang tidak rakus terhadap harta kekayaan, ibadahnya tidak terhalangi oleh kesenangannya mencari kekayaan, sikap sosialnya tidak terhalangi oleh sifat kekikirannya, serta selalu mengisi perutnya dengan makanan yang sederhana, serta tidak berlebih – lebihan.
d)     Maqam fakru
Fakru yang dimaksud disini bukan kemelaratan yang mengakibatkan seseorang sama sekali tidak berdaya untuk hidup dan beribadah, tetapi di maksudkan sebagai kebutuhan terhadap Allah semata, dan tidak membutuhkan sesuatu di luar ketentuan – Nya; sehingga sikapnya tidak terlalu sibuk mencari kekayaan, karena sikapnya selalu dilandasi dengan sikap qana’ah.
e)      Maqam sabar
Sabar yang dimaksud sebagai maqam dalam kajian ini adalah sabar menahan keinginan hawa nafsu yang selalu ingin bebas dari segala macam kewajiban.
f)       Maqam rela
Rela dimaksudkan sebagai sikap yang tabah menerima segala ketentuan Allah bagi manusia, baik yang sifatnya buruk, baik, kecelakaan, kebahagiaan, kesengsaraan maupun ketenangan jiwa yang dirasakan oleh orang yang menerima ketentuan Allah.
g)      Maqam tawakkal
Tawakkal sebagai suatu sikap penyerahan segala bentuk upaya yang telah dilakukan oleh manusia kepada Allah.

                        2.            Ahwal
Imam al Ghazali dalam hal ini membedakan hal dengan maqam, dengan mengatakan : bahwa hal adalah perasaan yang sering berubah – ubah, dan apabila sudah tetap, maka bisa menjadi maqam.
As’ad al Sahmarani mengemukakan pendapat al Sarraj al Tusi yang menetapkan jumlah ahwal menjadi sepuluh :
a)      Hal muraqabah
Muraqabah sebagai bagian dari ahwal dalam tasawuf, berasal dari kemampuan taqwa manusia; yaitu pemahaman diri terhadap pentingnya sikap pengawasan segala perilaku sehari – hari, yang bertujuan untuk mewujudkan rasa malu berbuat buruk, kehebatan sikap dan ketinggian akhlak.
b)      Hal qurbu
Qurbu merupakan gabungan dari fana dengan perasaan bersatu, lalu melahirkan rasa kedekatan dengan Allah.
c)      Hal mahabbah
Mahabbah yang dimaksud disini adalah kecintaan yang sangat mendesak untuk bertemu dengan Tuhan- Nya, sehingga kecintaan terhadap yang lain terlupakan, karena kecintaan tersebut, sangat didorong oleh rasa rindu yang sangat kuat.
d)     Hal khauf
Khauf sebagai salah satu dari jumlah ahwal, dimaksudkan sebagai takut terhadap siksaan Allah yang telah ditetapkan oleh sufi dalam kegiatan tasawuf.
e)      Hal raja’
Raja’ adalah suatu konsep dalam tasawuf yang merupakan salah satu bagian dari ahwal, yang berarti kondisi kerohanian peserta tasawuf yang selalu mengharapkan ridha Allah, karena itu selalu memperbanyak ibadah kepada – Nya.
f)       Hal shawq
Adalah ketergantungan hati terhadap Allah karena sangat merindukan pertemuan dengan – Nya. Karena itu, ia mengatakan sebenarnya kondisi shawq adalah pendalaman kondisi mahabbah.
g)      Hal insu
Insu dimaksudkan sebagai keramah – tamahan yang merupakan bagian dari kondisi ahwal berupa inti kedekatan dengan Allah.
h)      Hal tuma’ninah
Tuma’ninah dimaksudkan sebagai ketenangan jiwa.
i)        Hal mushahadah
Artinya menyaksikan cahaya ketuhanan, sehingga segala fungsi – fungsi kejiwaan dapat melihat dan merasakan sesuatu yang bersumber dari Allah.
j)        Hal yaqin
Beberapa sufi yang memberikan definisi yaqin, misalnya al Junayd al Baghdadi mengatakan; yaqin adalah hilangnya keragu – raguan. Al nuri mengatakan yaqin adalah kesaksian. Dhu al nun al misri mengatakan, setiap yang dilihat oleh mata, lalu sesuai dengan kebenaran ilmu, dan apa – apa yang diketahui oleh mata hati, lalu sesuai dengan keyakinan, maka itu disebut dengan yaqin.[4]

C.     Dasar – dasar ilmu Tasawuf
Diantara ajaran – ajaran di luar Islam yang diklaim sebagai sumber tasawuf Islam itu adalah sebagai berikut :
Al – Taftazani menolak pendapat yang mengatakan bahwa sufisme Islam bersumber dari ajaran – ajaran di luar Islam. Menurutnya, ajaran – ajaran di luar Islam tersebut baru muncul pada masa yang agak akhir (pada akhir – akhir abad ketiga Hijriyah atau abad kesembilan Masehi) setelah masa yang kedua dan ketiga awal asketisme (zuhud) cukup mapan dan berpotensi menyangga munculnya angkatan tasawuf berikutnya. Namun al Taftazani mengakui bahwa dengan lewatnya waktu, dengan berlangsungnya pertemuan antara berbagai bangsa dan kontaknya berbagai kebudayaan, adalah wajar jika telah menyebabkan masuknya pengaruh Kristen atau lainnya kedalam tasawuf Islam.
                        1.            Ajaran Kristen dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara – biara.
                        2.            Filsafat mistik pytagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing.
                        3.            Filsafat emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari Dzat Tuhan. Roh berasal dari Tuhan, tetapi dengan masuknya ke dalam materi, roh menjadi kotor. Untuk kembali ke tempat asalnya, roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Penyucian roh adalah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, bahkan kalau bisa bersatu dengan Tuhan.
                        4.            Ajaran Budha dengan Nirwananya. Untuk mencapai Nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana’ yang ada dalam sufisme hampir sama dengan nirwana.
                        5.            Ajaran Hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan antaa Atman dan Brahman. R. Hartman menambahkan bahwa sufisme Islam yang pertama adalah bercorak India.
Masuknya unsur – unsur ajaran di luar Islam tersebut juga diakui oleh Nurcholish Madjid. Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena adanya kontak antara kaum muslimin dengan bangsa – bangsa taklukannya di Syiria dan Persia yang dalam beberapa hal, khususnya di bidang filsafat, lebih duulu maju daripada kaum muslimin sendiri. Namun, Nurcholish Madjid menandaskan bahwa sufisme Islam memiliki dasar kuat yang tertuang dalam al Qur’an dan Sunnah.
Jadi, dapat disimpullkan bahwa tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam sendiri. Permunculan itu dapat berupa aplikasi dari ayat – ayat al – Qur’an sendiri atau dari pola hidup dan perilaku Nabi serta para sahabatnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa baik tanpa atau dengan pengaruh dari luar Islam, sufisme dapat muncul dan berkembang dalam Islam.[5]
Tasawuf, pada awal pembentukannya, adalah akhlak atau keagamaan, sedangkan moral keagamaan ini banyak diatur dalam al Qur’an dan As Sunnah. sumber pertamanya adalah ajaran – ajaran Islam sebab tasawuf di timba dari Al Qur’an As Sunnah dan amalan serta ucapan para sahabat. Amalan serta ucapan para sahabat itu tentu saja tidak keluar dari ruang lingkup Al Qur’an dan As Sunnah, karena itu, dua sumber utama tasawuf adalah Al Qur’an dan As Sunnah.

1.      Landasan Al-Qur’an
Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah nash. Jika memiliki pemahaman terhadap nash, tetapi tidak mengamalkannya akan terjadi kesenjangan. Ketika Aisyah ditanya oleh sahabat tentang akhlak Rasulullah saw., ia menjawab, “Al-Qur’an”. Para sahabat berusaha menerapkan akhlak atau perilaku mereka dengan mencontoh akhlak Rasulullah saw., yaitu akhlak Al-Qur’an.
Dalam hal inilah, tasawuf pada awal pembentukannya adalah akhlak atau keagamaan, dan moral keagamaan ini banyak diatur dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jelaslah bahwa sumber petamanya adalah ajaran-ajaran Islam, sebab tasawuf ditimba dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan amalan-amalan serta ucapan para sahabat. Amalan serta ucapan para sahabat itu tentu saja tidak keluar dari ruang lingkup Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan begitu, justru dua sumber utama tasawuf adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Qur’an menegaskan tentang pertemuan dengan Allah swt. di mana pun hamba-hambaNya berada. Hal ini sebagaimana ditegaskan-Nya:
ولله المشرق والمغرب فاينما تولوا فثم وجه الله. ان الله واسع عليم.
Artinya:
“Dan milik Allah timur dan barat. Kemana pun kamu menghadap disanalah wajah Allah, sunggu Allah Maha luas, Maha Mengetahui.”     (Q. S. Al-Baqarah {2}: 115)
Bagi kaum sufi, ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan ada, disana pula Tuhan dapat dijumpai.
Pada ayat 16 surat Qaf, Allah swt. menjelaskan:
ولقد خلقنا الانسان ونعلم ما توسوس به نفسه. ونحن اقرب اليه من حبل الوريد.
Artinya:
“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada aurat lehernya.” (Q. S. Qaf {50}: 16)


Berdasarkan ayat diatas, kebanyakan kalangan sufi berpemdapat bahwa untuk mencari Tuhan, orang tak perlu pergi jauh-jauh. Ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, Harun Nasution menegskan bahwa Tuhan ada di dalam, bukan diluar diri manusia.
Selanjutnya, kalau kita teliti lebih mendalam semua tingkatan dn keadaan yang dilalui para sufi (yang pada dasarnya merupakan objek tasawuf), banyak ditemukan landasannya daalam Al-Qur’an. Berikut akan kami kemukakan ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi landasan sebagian tingkatan dan keadaan para sufi.
Tingkatan zuhud, misalnya (uang banyak diklaim sebagai awal mula beranjaknya tasawuf), telah dijelaskan dalan Al-Qur’an:
... قل متاع الدنيا قليل. والاخرة خير لمن التقى ...
Atinya:
“... katakanlah, ‘kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa...’”. (Q. S. An-Nisa {4}: 77)
Sementara tigkatan takwa berlandaskan pada firman Allah swt.
... ان اكرمكم عند الله اتقاكم ....
Artinya:
“... sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa ....” (Q. S. Al-Hujurat {49}: 13)
Tingkatan tawakkal, menurut para sufi, berlandaskan pada firman-firman Allah berikut.
... ومن يتوكل على الله فهو حسبه ....
Artinya:
“... dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya...” (Q. S. Ath-Thalaq {65}: 3)
Tingkatan syukur, antara lain berlandaskan pada firman Allah swt. berikut ini.


...لئن شكرتم لازيدنكم....
Artinya:
“... sesungguhnya jik kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu...”
Tingkatan sabar berlandaskan pada firman Allah swt. berikut ini.
فاصبر ان وعد الله حق واستغفر لذنبك وسبح بحمد ربك بالعشي ولابكار.
Artinya:
“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampun untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.” (Q. S. Al-Mu’min {40}: 55)
Tingatan rela berdasarkan pada firman Allah swt. berikut ini.
Artinya:
... رضي الله عنهم ورضوا عنه....
“... Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya...”
(Q. S. Al-Ma’idah {5}: 119)
 Demikianlah sebagian ayat Al-Qur’an yang dijadikan dasar sebagai landasan kaum sufi dalam melaksanakan praktik-praktik kesufiannya.

2.      Landasan Hadis
Berikut ini beberapa matan hadis yang dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf.
من عرف نفسه فقد عرف ربه
Artinya:
“Barang siapa yang mengenal dirinya sendiri, maka akan mengenal Tuhannya.”
Hadis ini di samping melukiskan kedekatan hubungan antara Tuhan dan manusia, sekaligus mengisyaratkan arti bahwa manusia dan Tuhan adalah satu. Oleh sebab itu, barang siapa yang igin mengenal Tuhan cukup mengenal dan merenungkan perihal dirinya sendiri.
Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah saw. menyabdakan pernyataan Allah swt. sebagai berikut.
كنت كنزا مخفيا فاحببت أن أعرف فخلقت الحلق فبه عرفوني.
Artinya:
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka Aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku.”
Selanjutnya, dalam kehidupan Nabi Muhammad saw. juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau adalah sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad saw. telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan ketika orag arab tegan tenggelam di dalamnya, seperti dalam praktik perdagangan yang didasarkan pada prinsip menghalalkan segala cara.
Kehidupan Rasulullah sebagai sumber kedua tasawuf
a.       Kezuhudan Rasulullah dan kesedehanaannya
1.      Kezuhudan dan kesederhanaan Beliau dalam Hal Makanan
Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hazim dari Rasulullah beliau sangat bersahaja dalam soal makan. Ia bercerita: Aku melihat Abu Hurairah memberi isyarat dengan jarinya beberapa kali, seraya berkata, “Demi Dzat yang jiwa Abu Hurairah ada dalam genggaman tangan-Nya, Nabi Allah tidak pernah kenyak selama tiga hari berturut-turut dengan mengonsumsi roti gandum sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Al-Bukhari).[6]
2.      Kezuhudan dan Kesederhanaaan Beliau dalam Berpakain
Diriwayatkan dari Anas bahwasanya “Rasulullah makan makanan kasar, memakai pakaian berbahan kasar, dan hanya sesekali mengenakan pakaian dari bulu domba.” (HR. Al-Hakim)
Perlu dicatat disini, bahwa Rsulullah tidak suka memakai kain dari bulu domba di segala waktu. Bahkan beliau pernah melepasnya karena satu hal yang diperhatikan oleh salah satu istrinya, yaitu Aisyah.
3.      Kezuhudan dan Kesederhanaan Alas Tidur Rasulullah
Rasulullah juga menyukai alas tidur berkualitas rendah karena lebih mengutamakan perilaku zuhud dan kesederhanaan daripada terlena dalam kenikmatan hidup. Diriwayatkan dari Aisyah ra., ia bekata: “Sesungguhnya, alas tidur Rasulullah berupa lembaran kulit berisikan rerumputan kering.” (HR. Muslim).
4.      Kezuhudan dan Kesederhanaan Rasulullah Seebagai Pilihan Hidup
Diriwayatkan dari Abu Umamah dari Rasulullah beliau bersabda:
Rabb-ku pernah menawariku untuk mengubah padang pair Mekah menjadi emas, namun, aku bilang: O Tuhan, aku hanya ingin kenyang sehari dan lapar sehari—beliau mengucapkan sebanyak tiga kali atau yang setara—Sehingga bila lapar, aku dapat menundukkan diri pada-Mu, mengingat-Mu, dan bila kenyang, aku bersyukur kepada-Mu dan memuji-Mu.”
b.      Ibadah Ekstra Rasulullah
1.      Intensitas Shalat Rasulullah
Rasulullah menurut sejumlah riwayat gemar melaksanakan shalat di tengah malam. Diriwayatkan dari Aisyah ra., bahwasanya Rasulullah melksanakan shaat malam hingga kaki beliau bengkak-bengkak. Aku bilang kepada beliau, “Wahai Rasulullah, kenaa Anda melakukan ini, padahal Allh telah mengampuni dosa Anda yang telah berlalu dan yang akan datang?!” Belaiu menjawab, “Apakah aku tidak suka jika menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
2.      Intensitas Puasa Rasulullah
Rasulullah juga memperbanyak puasa sunnah. Hadis-hadis mengenai hal ini cukup banyak, diantaranya yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah suka berpuasa dan seringkali tidak makan sampai kami mengatakan setahun ini Rasulullah berpuasa terus. Namun, di tahun berikutnya beliau tidak puasa sampai kami mengatakan beliau tidak suka berpuasa setahun penuh. Dan puasa yang paling beliau sukai adalah puasa bulan Sya’ban.” (HR. Ahmad dan ath-Thabrani).
Dikalangan para sahabat pun terdapat orang yang mengikuti praktik bertasawuf, sebagaimana yang dipraktikkan Nabi Muhammad saw. Abu Bakar Ash-Shiddiq, mislnya, pernah berkata, “Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan, ke-fana’-an dalam keagungan, dan kerendahan hati.” Khalifah Umar ibn Khaththab pernah berkhotbah di hadapan jamaah kaum muslim dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Khalifah Utsman ibn ‘Affan banyak menghabiskan watunya untuk beribadah dan mebaca Al-Qur’an. Baginya Al-Qur’an ibarat surat dari kekasih yang selalu dibawa dan dibaca ke mana pun ia pergi.[7]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridaan – Nya.
Konsep tasawuf ada dua yaitu maqamat dan ahwal. Dalam pembahasan maqamat ada tujuh tingkatan yaitu taubat, wara’, zuhud, fakru, sabar, rela dan tawakkal. Sedangkan dalam tingkatan ahwal ada sepuluh tingkatan, yaitu : Muraqabah, qurbu, mahabbah, khauf, raja’, shawq, insu, tuma’ninah, mushahadah dan yaqin.
Dasar – dasar pembelajaran tasawuf yaitu alqur’an dan hadits.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon dan Mukhtar Solihin. 2000. Ilmu Tasawuf. Pustaka Setia : Bandung.

Hajjaj,Muhammad d Fauqi.2013.Tasawuf Islam & Akhlak. Amzah: Jakarta.

Hidayat,Nur. 2013. Akhlak Tasawuf. Penerbit Ombak: Yogyakarta.

Mahjuddin.2010.AkhlaqTasawuf II : Pencarian Ma’rifah Bagi Sufi Klasik dan Penemuan Kebahagiaan Batin Bagi Sufi Kontemporer. Kalam Mulia: Jakarta.

Zuhri, Amat. 2005. Ilmu Tasawuf. Stain Pekalongan Press : Pekalongan.





[1] Nur Hidayat,Akhlak Tasawuf (Yogyakarta,Penerbit Ombak:2013), Hlm 54 – 55.
[2] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin,Ilmu Tasawuf (Bandung,Pustaka Setia:2000), Hlm.11 – 14.
[3] Amat Zuhri,Ilmu Tasawuf (Pekalongan, Stain Pekalongan Press:2005), Hlm 6 – 7.
[4] Mahjuddin,Akhlaq tasawuf II : pencarian Ma’rifah bagi Sufi klasik dan penemuan kebahagiaan batin bagi sufi kontemporer (Jakarta,Kalam Mulia :2010). Hlm 209 – 233.
[5] Amat Zuhri,Ilmu Tasawuf,.....Hlm 7 – 10.
[6] Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 53
[7] Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlak....., hlm. 159-161.

No comments:

Post a Comment