BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang
mempelajari usaha – usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu,
mencari jalan kesucian dengan makrifat menuju keabadian, saling mengingatkan
antar manusia, serta berpegang teguh kepada janji Allah dan mengikuti syariat
Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridaan – Nya. Untuk memahami
makna tasawuf secara mendalam kita perlu mengetahui konsep dasar dalam ilmu
tasawuf. Oleh karena itu, penulis menulis makalah untuk bisa memahami makna
tasawuf secara mendalam.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pengertian tasawuf?
2.
Bagaimana
konsep dalam tasawuf?
3.
Bagaimana
dasar – dasar ilmu tasawuf?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian tasawuf.
2.
Untuk
mengetahui konsep dalam tasawuf.
3.
Untuk
mengetahui dasar – dasar ilmu tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tasawuf
Tasawuf berdasarkan asal usul
katanya memiliki beberapa arti diantaranya :
1.
Kata
tasawwuf (التصوف) adalah bahasa Arab dari kata suf yang artinya bulu
domba. Orang sufi biasanya memakai pakaian dari bulu domba yang kasar sebagai
lambang kesederhanaan dan kesucian. Dalam sejarah disebutkan, bahwa orang yang
pertama kali menggunakan kata sufi adalah seorang zahid yang bernama Abu Hasyim
Al Kufi di Irak (wafat 150 H).
2.
Ahl
Al – Suffah (اهل الصفة)
yaitu orang – orang yang ikut hijrah dengan Nabi, dari Mekah ke Madinah karena
kehilangan harta, mereka berada dalam keadaan miskin dan tak memiliki apa –
apa. Mereka tinggal di serambi Masjid Nabi dan tidur diatas batu dengan memakai
pelana sebagai bantal.
3.
Shafi
(صافي) yaitu suci. Orang – orang sufi adalah orang – orang yang
menyucikan dirinya dari hal – hal yang bersifat keduniawian dan mereka lakukan
melalui latihan yang berat dan lama. Dengan demikian, mereka adalah orang –
orang yang disucikan.
4.
Sophia(صوفى), berasal dari bahasa Yunan, yang artinya hikmah atau filsafat.
Jalan yang ditempuh oleh orang – orang sufi memiliki kesamaan dengan cara yang
dtempuh oleh para filosof. Mereka sama – sama mencari kebenaran yang berawal
dari keraguan dan ketidakpuasan.
5.
Saf (صوف) pertama. Sebagaimana halnya orang yang sholat pada saf pertama
mendapat kemuliaan dan pahala yang utama, demikian pula orang – orang sufi
dimuliakan Allah dan mendapat pahala, karena dalam sholat jamaah mereka
mengambil saf yang pertama.[1]
Pengertian tasawuf
berdasarkan istilah, telah banyak dirumuskan oleh ahli, yang satu sama lain
berbeda sesuai dengan seleranya masing – masing, diantaranya :
1.
Menurut
Al Jurairi , tasawuf adalah memasuki segala budi (akhlak) yang bersifat sunni
dan keluar dari budi pekerti yang rendah.
2.
Menurut
Al Junaidi, tasawuf adalah bahwa yang Hak adalah yang mematikanmu dan Hak – lah
yang menghidupkanmu, dalam ungkapan lain, Al Junaidi mengatakan bawha tasawuf
adalah beserta Allah tanpa adanya penghubung.
3.
Menurut
Abu Hamzah, tanda sufi yang benar adalah berfakir setelah dia kaya, merendahkan
diri setelah dia bermegah – megah, menyembunyikan diri setelah dia terkenal,
dan tanda sufi palsu adalah kaya setelah dia fakir, bermegah – megah setelah
dia hina dan tersohor setelah dia bersembunyi.
4.
Amir
bin Usman Al Makki, tasawuf adalah seorang hamba yang setiap waktunya mengambil
waktu yang utama.
5.
Muhammad
Ali Al Qassab, tasawuf adalah akhlak yang mulia yang timbul pada masa yang
mulia dari seorang yang mulia yang ditengah – tengah kaumnya yang mulia.
6.
Menurut
Syamnun, tasawuf adalah engkau memiliki sesuatu dan tidak di miliki sesuatu.
7.
Ma’ruf
Al Karakhi, tasawuf adalah mengambil hakikat dan berputus asa pada apa yang ada
di tangan makhluk.
8.
Al
Junaedi, tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang
memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian,
saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan
mengikuti syari’at Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridaan –
Nya.[2]
Di Barat, tasawuf lebih dikenal
dengan nama Islamic Mysticism (mistisme Islam). Sebutan ini, yang juga
diterima oleh kalangan sarjana muslim, sering menyesatkan, sebab perkataan mystic
(mistik) selalu dihubungkan dengan amalan – amalan ilmu hitam seperti ilmu
Sihir dan Nujum. Padahal tasawuf yang sejati tidak ada hubungannya dengan hal –
hal seperti itu. penamaan ‘mistisme Islam’ kepada tasawuf dapat diterima kalau
perkataan itu dipahami sesuatu dengan pengertiannya yang benar.
Secara etimologi, kata ‘mistik’ atau
‘mystic’ berasal dari bahasa Yunani myein, dan ada kaitannya
dengan ‘mysteri’, bermakna ‘menutup mata’ atau ‘terlindung di dalam
rahasia’. Dalam pengertian yang benar tersirat adanya suasana kekudusan dan
kekhusukan dalam upaya menangkap rahasia Yang Maha Agung melalui disiplin
spiritual yang keras dan sungguh – sungguh. Apabila tasawuf dapat disebut
‘mistisisme Islam’ tentulah ia boleh diberi makna sebagai ajaran kerohanian
penuh suasana kekudusan dan kekhusukan berkenaan ‘menutup mata’ atau ‘sesuatu
yang terlindung dalam rahasia’.[3]
B.
Konsep
Tasawuf
1.
Maqamat
Maqamat adalah suatu konsep dalam ilmu tasawuf yang digunakan oleh
peserta Tasawuf () untuk mengukur keberadaan tingkat spiritualnya dari satu
maqam kepada maqam yang lebih tinggi tingkatannya. Istilah tersebut, baru
dikenal pada perkembangan tasawuf abad II H, yang sebagian ahli tasawuf
mengatakan bahwa istilah itu mulai dipopulerkan oleh Dhu al – Nun al – Misri
sebagai sufi sunni.
Menurut al Sarraj al Tusi, tingkatan dalam maqamat ada tujuh yaitu
:
a)
Maqam
taubat
Taubat
merupakan awal berangkatnya peserta tasawuf menuju kepada tingkatan maqam
berikutnya.
b)
Maqam
wara’
Manusia
yang melakukan wara’ adalah ia selalu berbuat dengan cara yang hati – hati,
menempatkan hak – hak Allah dan hak – hak manusia dengan cara yang sebaik –
baiknya, dengan di kawal oleh sikap murawabah yang selalu ingat kepada
Allah.
c)
Maqam
zuhud
Sikap
zuhud yang melekat pada diri peserta tasawuf, tercermin dari sikapnya yang
tidak rakus terhadap harta kekayaan, ibadahnya tidak terhalangi oleh
kesenangannya mencari kekayaan, sikap sosialnya tidak terhalangi oleh sifat
kekikirannya, serta selalu mengisi perutnya dengan makanan yang sederhana,
serta tidak berlebih – lebihan.
d)
Maqam
fakru
Fakru
yang dimaksud disini bukan kemelaratan yang mengakibatkan seseorang sama sekali
tidak berdaya untuk hidup dan beribadah, tetapi di maksudkan sebagai kebutuhan
terhadap Allah semata, dan tidak membutuhkan sesuatu di luar ketentuan – Nya;
sehingga sikapnya tidak terlalu sibuk mencari kekayaan, karena sikapnya selalu
dilandasi dengan sikap qana’ah.
e)
Maqam
sabar
Sabar
yang dimaksud sebagai maqam dalam kajian ini adalah sabar menahan keinginan
hawa nafsu yang selalu ingin bebas dari segala macam kewajiban.
f)
Maqam
rela
Rela
dimaksudkan sebagai sikap yang tabah menerima segala ketentuan Allah bagi
manusia, baik yang sifatnya buruk, baik, kecelakaan, kebahagiaan, kesengsaraan
maupun ketenangan jiwa yang dirasakan oleh orang yang menerima ketentuan Allah.
g)
Maqam
tawakkal
Tawakkal
sebagai suatu sikap penyerahan segala bentuk upaya yang telah dilakukan oleh
manusia kepada Allah.
2.
Ahwal
Imam al Ghazali dalam hal ini membedakan hal dengan maqam, dengan
mengatakan : bahwa hal adalah perasaan yang sering berubah – ubah, dan apabila sudah
tetap, maka bisa menjadi maqam.
As’ad al Sahmarani mengemukakan pendapat al Sarraj al Tusi yang
menetapkan jumlah ahwal menjadi sepuluh :
a)
Hal
muraqabah
Muraqabah sebagai bagian dari ahwal dalam tasawuf, berasal dari kemampuan
taqwa manusia; yaitu pemahaman diri terhadap pentingnya sikap pengawasan segala
perilaku sehari – hari, yang bertujuan untuk mewujudkan rasa malu berbuat
buruk, kehebatan sikap dan ketinggian akhlak.
b)
Hal
qurbu
Qurbu
merupakan gabungan dari fana dengan perasaan bersatu, lalu melahirkan
rasa kedekatan dengan Allah.
c)
Hal
mahabbah
Mahabbah
yang dimaksud disini adalah kecintaan yang sangat mendesak untuk bertemu dengan
Tuhan- Nya, sehingga kecintaan terhadap yang lain terlupakan, karena kecintaan
tersebut, sangat didorong oleh rasa rindu yang sangat kuat.
d)
Hal
khauf
Khauf
sebagai salah satu dari jumlah ahwal, dimaksudkan sebagai takut terhadap
siksaan Allah yang telah ditetapkan oleh sufi dalam kegiatan tasawuf.
e)
Hal
raja’
Raja’
adalah suatu konsep dalam tasawuf yang merupakan salah satu bagian dari ahwal,
yang berarti kondisi kerohanian peserta tasawuf yang selalu mengharapkan ridha
Allah, karena itu selalu memperbanyak ibadah kepada – Nya.
f)
Hal
shawq
Adalah
ketergantungan hati terhadap Allah karena sangat merindukan pertemuan dengan –
Nya. Karena itu, ia mengatakan sebenarnya kondisi shawq adalah pendalaman
kondisi mahabbah.
g)
Hal
insu
Insu
dimaksudkan sebagai keramah – tamahan yang merupakan bagian dari kondisi ahwal
berupa inti kedekatan dengan Allah.
h)
Hal
tuma’ninah
Tuma’ninah
dimaksudkan sebagai ketenangan jiwa.
i)
Hal
mushahadah
Artinya
menyaksikan cahaya ketuhanan, sehingga segala fungsi – fungsi kejiwaan dapat
melihat dan merasakan sesuatu yang bersumber dari Allah.
j)
Hal
yaqin
Beberapa
sufi yang memberikan definisi yaqin, misalnya al Junayd al Baghdadi mengatakan;
yaqin adalah hilangnya keragu – raguan. Al nuri mengatakan yaqin adalah
kesaksian. Dhu al nun al misri mengatakan, setiap yang dilihat oleh mata, lalu
sesuai dengan kebenaran ilmu, dan apa – apa yang diketahui oleh mata hati, lalu
sesuai dengan keyakinan, maka itu disebut dengan yaqin.[4]
C.
Dasar
– dasar ilmu Tasawuf
Diantara ajaran – ajaran di luar
Islam yang diklaim sebagai sumber tasawuf Islam itu adalah sebagai berikut :
Al – Taftazani menolak pendapat yang
mengatakan bahwa sufisme Islam bersumber dari ajaran – ajaran di luar Islam.
Menurutnya, ajaran – ajaran di luar Islam tersebut baru muncul pada masa yang
agak akhir (pada akhir – akhir abad ketiga Hijriyah atau abad kesembilan
Masehi) setelah masa yang kedua dan ketiga awal asketisme (zuhud) cukup mapan
dan berpotensi menyangga munculnya angkatan tasawuf berikutnya. Namun al
Taftazani mengakui bahwa dengan lewatnya waktu, dengan berlangsungnya pertemuan
antara berbagai bangsa dan kontaknya berbagai kebudayaan, adalah wajar jika
telah menyebabkan masuknya pengaruh Kristen atau lainnya kedalam tasawuf Islam.
1.
Ajaran
Kristen dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara –
biara.
2.
Filsafat
mistik pytagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada
di dunia sebagai orang asing.
3.
Filsafat
emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari Dzat Tuhan. Roh
berasal dari Tuhan, tetapi dengan masuknya ke dalam materi, roh menjadi kotor.
Untuk kembali ke tempat asalnya, roh harus terlebih dahulu dibersihkan.
Penyucian roh adalah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat
mungkin, bahkan kalau bisa bersatu dengan Tuhan.
4.
Ajaran
Budha dengan Nirwananya. Untuk mencapai Nirwana, orang harus meninggalkan dunia
dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana’ yang ada dalam sufisme hampir sama
dengan nirwana.
5.
Ajaran
Hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan
untuk mencapai persatuan antaa Atman dan Brahman. R. Hartman menambahkan bahwa
sufisme Islam yang pertama adalah bercorak India.
Masuknya unsur – unsur ajaran di
luar Islam tersebut juga diakui oleh Nurcholish Madjid. Menurutnya, hal ini
bisa terjadi karena adanya kontak antara kaum muslimin dengan bangsa – bangsa
taklukannya di Syiria dan Persia yang dalam beberapa hal, khususnya di bidang
filsafat, lebih duulu maju daripada kaum muslimin sendiri. Namun, Nurcholish
Madjid menandaskan bahwa sufisme Islam memiliki dasar kuat yang tertuang dalam
al Qur’an dan Sunnah.
Jadi, dapat disimpullkan bahwa
tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam sendiri. Permunculan itu dapat berupa
aplikasi dari ayat – ayat al – Qur’an sendiri atau dari pola hidup dan perilaku
Nabi serta para sahabatnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa baik tanpa atau
dengan pengaruh dari luar Islam, sufisme dapat muncul dan berkembang dalam
Islam.[5]
Tasawuf, pada awal pembentukannya,
adalah akhlak atau keagamaan, sedangkan moral keagamaan ini banyak diatur dalam
al Qur’an dan As Sunnah. sumber pertamanya adalah ajaran – ajaran Islam sebab tasawuf
di timba dari Al Qur’an As Sunnah dan amalan serta ucapan para sahabat. Amalan
serta ucapan para sahabat itu tentu saja tidak keluar dari ruang lingkup Al
Qur’an dan As Sunnah, karena itu, dua sumber utama tasawuf adalah Al Qur’an dan
As Sunnah.
1.
Landasan
Al-Qur’an
Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah nash. Jika memiliki pemahaman
terhadap nash, tetapi tidak mengamalkannya akan terjadi kesenjangan. Ketika
Aisyah ditanya oleh sahabat tentang akhlak Rasulullah saw., ia menjawab,
“Al-Qur’an”. Para sahabat berusaha menerapkan akhlak atau perilaku mereka
dengan mencontoh akhlak Rasulullah saw., yaitu akhlak Al-Qur’an.
Dalam hal inilah, tasawuf pada awal pembentukannya adalah akhlak
atau keagamaan, dan moral keagamaan ini banyak diatur dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Jelaslah bahwa sumber petamanya adalah ajaran-ajaran Islam, sebab
tasawuf ditimba dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan amalan-amalan serta ucapan para
sahabat. Amalan serta ucapan para sahabat itu tentu saja tidak keluar dari
ruang lingkup Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan begitu, justru dua sumber utama
tasawuf adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Qur’an menegaskan tentang pertemuan dengan Allah swt. di mana
pun hamba-hambaNya berada. Hal ini sebagaimana ditegaskan-Nya:
ولله المشرق والمغرب فاينما تولوا فثم وجه الله. ان الله واسع عليم.
Artinya:
“Dan milik Allah timur dan barat. Kemana pun kamu menghadap
disanalah wajah Allah, sunggu Allah Maha luas, Maha Mengetahui.” (Q. S. Al-Baqarah {2}: 115)
Bagi kaum sufi, ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan
ada, disana pula Tuhan dapat dijumpai.
Pada ayat 16 surat Qaf, Allah swt. menjelaskan:
ولقد خلقنا الانسان ونعلم ما توسوس به نفسه. ونحن اقرب اليه من حبل
الوريد.
Artinya:
“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa
yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada aurat
lehernya.” (Q. S. Qaf {50}: 16)
Berdasarkan ayat diatas, kebanyakan kalangan sufi berpemdapat bahwa
untuk mencari Tuhan, orang tak perlu pergi jauh-jauh. Ia cukup kembali ke dalam
dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, Harun Nasution menegskan bahwa Tuhan ada di
dalam, bukan diluar diri manusia.
Selanjutnya, kalau kita teliti lebih mendalam semua tingkatan dn
keadaan yang dilalui para sufi (yang pada dasarnya merupakan objek tasawuf),
banyak ditemukan landasannya daalam Al-Qur’an. Berikut akan kami kemukakan
ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi landasan sebagian tingkatan dan keadaan para
sufi.
Tingkatan zuhud, misalnya (uang banyak diklaim sebagai awal mula
beranjaknya tasawuf), telah dijelaskan dalan Al-Qur’an:
... قل متاع الدنيا قليل. والاخرة خير لمن التقى
...
Atinya:
“... katakanlah, ‘kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat
itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa...’”. (Q. S. An-Nisa {4}: 77)
Sementara tigkatan takwa berlandaskan pada firman Allah swt.
... ان اكرمكم عند الله اتقاكم ....
Artinya:
“... sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertaqwa ....” (Q. S. Al-Hujurat {49}: 13)
Tingkatan tawakkal, menurut para sufi, berlandaskan pada
firman-firman Allah berikut.
... ومن يتوكل على الله فهو حسبه ....
Artinya:
“... dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)-nya...” (Q. S. Ath-Thalaq {65}: 3)
Tingkatan syukur, antara lain berlandaskan pada firman Allah swt.
berikut ini.
...لئن شكرتم لازيدنكم....
Artinya:
“... sesungguhnya jik kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah
(nikmat) kepadamu...”
Tingkatan sabar berlandaskan pada firman Allah swt. berikut ini.
فاصبر ان وعد الله حق واستغفر لذنبك وسبح بحمد ربك بالعشي ولابكار.
Artinya:
“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah itu benar, dan
mohonlah ampun untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu
petang dan pagi.” (Q. S. Al-Mu’min {40}: 55)
Tingatan rela berdasarkan pada firman Allah swt. berikut ini.
Artinya:
... رضي الله عنهم ورضوا عنه....
“... Allah rida kepada mereka dan mereka pun
rida kepada-Nya...”
(Q. S. Al-Ma’idah {5}: 119)
Demikianlah sebagian ayat
Al-Qur’an yang dijadikan dasar sebagai landasan kaum sufi dalam melaksanakan
praktik-praktik kesufiannya.
2.
Landasan
Hadis
Berikut ini beberapa matan hadis yang dapat dipahami dengan
pendekatan tasawuf.
من عرف نفسه فقد عرف ربه
Artinya:
“Barang siapa yang mengenal dirinya sendiri, maka akan mengenal
Tuhannya.”
Hadis ini di samping melukiskan
kedekatan hubungan antara Tuhan dan manusia, sekaligus mengisyaratkan arti
bahwa manusia dan Tuhan adalah satu. Oleh sebab itu, barang siapa yang igin
mengenal Tuhan cukup mengenal dan merenungkan perihal dirinya sendiri.
Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah saw. menyabdakan pernyataan
Allah swt. sebagai berikut.
كنت كنزا مخفيا فاحببت أن أعرف فخلقت الحلق فبه عرفوني.
Artinya:
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka Aku menjadikan
makhluk agar mereka mengenal-Ku.”
Selanjutnya, dalam kehidupan Nabi
Muhammad saw. juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau adalah
sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad saw. telah melakukan pengasingan diri ke
Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan ketika
orag arab tegan tenggelam di dalamnya, seperti dalam praktik perdagangan yang
didasarkan pada prinsip menghalalkan segala cara.
Kehidupan Rasulullah sebagai sumber kedua tasawuf
a.
Kezuhudan
Rasulullah dan kesedehanaannya
1.
Kezuhudan
dan kesederhanaan Beliau dalam Hal Makanan
Salah
satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hazim dari Rasulullah beliau
sangat bersahaja dalam soal makan. Ia bercerita: Aku melihat Abu Hurairah
memberi isyarat dengan jarinya beberapa kali, seraya berkata, “Demi Dzat yang
jiwa Abu Hurairah ada dalam genggaman tangan-Nya, Nabi Allah tidak pernah
kenyak selama tiga hari berturut-turut dengan mengonsumsi roti gandum sampai
beliau meninggal dunia.” (HR. Al-Bukhari).[6]
2.
Kezuhudan
dan Kesederhanaaan Beliau dalam Berpakain
Diriwayatkan
dari Anas bahwasanya “Rasulullah makan makanan kasar, memakai pakaian berbahan
kasar, dan hanya sesekali mengenakan pakaian dari bulu domba.” (HR. Al-Hakim)
Perlu
dicatat disini, bahwa Rsulullah tidak suka memakai kain dari bulu domba di
segala waktu. Bahkan beliau pernah melepasnya karena satu hal yang diperhatikan
oleh salah satu istrinya, yaitu Aisyah.
3.
Kezuhudan
dan Kesederhanaan Alas Tidur Rasulullah
Rasulullah
juga menyukai alas tidur berkualitas rendah karena lebih mengutamakan perilaku
zuhud dan kesederhanaan daripada terlena dalam kenikmatan hidup. Diriwayatkan
dari Aisyah ra., ia bekata: “Sesungguhnya, alas tidur Rasulullah berupa
lembaran kulit berisikan rerumputan kering.” (HR. Muslim).
4.
Kezuhudan
dan Kesederhanaan Rasulullah Seebagai Pilihan Hidup
Diriwayatkan
dari Abu Umamah dari Rasulullah beliau bersabda:
Rabb-ku
pernah menawariku untuk mengubah padang pair Mekah menjadi emas, namun, aku
bilang: O Tuhan, aku hanya ingin kenyang sehari dan lapar sehari—beliau
mengucapkan sebanyak tiga kali atau yang setara—Sehingga bila lapar, aku dapat
menundukkan diri pada-Mu, mengingat-Mu, dan bila kenyang, aku bersyukur
kepada-Mu dan memuji-Mu.”
b.
Ibadah
Ekstra Rasulullah
1.
Intensitas
Shalat Rasulullah
Rasulullah
menurut sejumlah riwayat gemar melaksanakan shalat di tengah malam.
Diriwayatkan dari Aisyah ra., bahwasanya Rasulullah melksanakan shaat malam
hingga kaki beliau bengkak-bengkak. Aku bilang kepada beliau, “Wahai Rasulullah,
kenaa Anda melakukan ini, padahal Allh telah mengampuni dosa Anda yang telah
berlalu dan yang akan datang?!” Belaiu menjawab, “Apakah aku tidak suka jika
menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
2.
Intensitas
Puasa Rasulullah
Rasulullah
juga memperbanyak puasa sunnah. Hadis-hadis mengenai hal ini cukup banyak,
diantaranya yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah suka
berpuasa dan seringkali tidak makan sampai kami mengatakan setahun ini
Rasulullah berpuasa terus. Namun, di tahun berikutnya beliau tidak puasa sampai
kami mengatakan beliau tidak suka berpuasa setahun penuh. Dan puasa yang paling
beliau sukai adalah puasa bulan Sya’ban.” (HR. Ahmad dan ath-Thabrani).
Dikalangan para sahabat pun terdapat
orang yang mengikuti praktik bertasawuf, sebagaimana yang dipraktikkan Nabi
Muhammad saw. Abu Bakar Ash-Shiddiq, mislnya, pernah berkata, “Aku mendapatkan
kemuliaan dalam ketakwaan, ke-fana’-an dalam keagungan, dan kerendahan hati.”
Khalifah Umar ibn Khaththab pernah berkhotbah di hadapan jamaah kaum muslim
dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Khalifah Utsman ibn ‘Affan
banyak menghabiskan watunya untuk beribadah dan mebaca Al-Qur’an. Baginya
Al-Qur’an ibarat surat dari kekasih yang selalu dibawa dan dibaca ke mana pun
ia pergi.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari
usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian
dengan ma’rifat menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang
teguh pada janji Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah dalam mendekatkan diri
dan mencapai keridaan – Nya.
Konsep tasawuf ada dua yaitu maqamat
dan ahwal. Dalam pembahasan maqamat ada tujuh tingkatan yaitu taubat, wara’,
zuhud, fakru, sabar, rela dan tawakkal. Sedangkan dalam tingkatan ahwal ada
sepuluh tingkatan, yaitu : Muraqabah, qurbu, mahabbah, khauf, raja’, shawq,
insu, tuma’ninah, mushahadah dan yaqin.
Dasar – dasar pembelajaran tasawuf
yaitu alqur’an dan hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon
dan Mukhtar Solihin. 2000. Ilmu Tasawuf. Pustaka Setia : Bandung.
Hajjaj,Muhammad
d Fauqi.2013.Tasawuf Islam & Akhlak. Amzah: Jakarta.
Hidayat,Nur.
2013. Akhlak Tasawuf. Penerbit Ombak: Yogyakarta.
Mahjuddin.2010.AkhlaqTasawuf
II : Pencarian Ma’rifah Bagi Sufi Klasik dan Penemuan Kebahagiaan Batin Bagi
Sufi Kontemporer. Kalam Mulia: Jakarta.
Zuhri, Amat.
2005. Ilmu Tasawuf. Stain Pekalongan Press : Pekalongan.
[1] Nur Hidayat,Akhlak
Tasawuf (Yogyakarta,Penerbit Ombak:2013), Hlm 54 – 55.
[2] Rosihon Anwar
dan Mukhtar Solihin,Ilmu Tasawuf (Bandung,Pustaka Setia:2000), Hlm.11 –
14.
[3] Amat Zuhri,Ilmu
Tasawuf (Pekalongan, Stain Pekalongan Press:2005), Hlm 6 – 7.
[4] Mahjuddin,Akhlaq
tasawuf II : pencarian Ma’rifah bagi Sufi klasik dan penemuan kebahagiaan batin
bagi sufi kontemporer (Jakarta,Kalam Mulia :2010). Hlm 209 – 233.
[5] Amat Zuhri,Ilmu
Tasawuf,.....Hlm 7 – 10.
[6] Muhammad Fauqi
Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 53
[7] Muhammad Fauqi
Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlak....., hlm. 159-161.
No comments:
Post a Comment