Tuesday, October 17, 2017

Perkembangan Gender

PERKEMBANGAN GENDER
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah
:
Psikologi Perkembangan
Dosen Pengampu
:
Musripah, M.A

Di Susun Oleh :
Kelas A
Nurul Huda
2022114056
Khizanaturrochmah
2022115007
Siddiq Permana
2022115055



JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PEKALONGAN
2017


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

B.     Rumusan Masalah
                              1.            Apa saja hal – hal yang mempengaruhi perkembangan gender?
                              2.            Bagaimana perkembangan gender selama masa anak – anak?
                              3.            Bagaimana stereotip gender?

C.     Tujuan Penulisan
                              1.            Untuk mengetahui hal – hal yang mempengaruhi perkembangan gender.
                              2.            Untuk mengetahui perkembangan gender selama masa anak – anak.
                              3.            Untuk mengetahui stereotip gender.


BAB II
PEMBAHASAN
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis. Misalnya bahwa laki – laki adalah manusia yang memiliki penis dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim, vagina, dan memproduksi sel telur. Sedangkan gender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki – laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut, emosional atau keibuan, sementara laki – laki dianggap kuat, rasional dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri dapat dipertukarkan. Artinya ada laki – laki emosional, lemah lembuh dan keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat – sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.[1]
A.    Hal – hal yang Mempengaruhi Perkembangan Gender
Dalam hubungan ini Susan A. Basow pernah mengadakan penelitian lintas budaya tentang peranan seksual. Penelitian itu dilakukan terhadap penduduk kepulauan Fiji yang terdiri dari suku – suku bangsa Melanesia, India, Eropa dan Cina. Dari penelitiannya diketahui bahwa dalam masyarakat dengan pola perawatan dan pengasuhan anak – anak hanya semata – mata tanggung jawab wanita dan kekuatan fisik sangat menentukan dalam kehidupan perekonomian, maka peran gender adalah paling tajam. [2]


Dengan adanya perubahan zaman menuju era industrialisasi, maka kehidupan keluarga seperti di atas makin memudar. Akibatnya kesempatan anak untuk belajar peran gender juga makin terbatas. Apalagi dengan majunya tingkat pendidikan wanita yang berakibat pada meluasnya peran wanita kepada hal – hal yang dulunya hanya dikerjakan oleh laki – laki. bahkan T.M. Hartnagel dalam penelitiannya yang berskala nasional di Amerika Serikat (1982) membuktikan bahwa modernisasi punya pengaruh langsung atas meningkatnya keterlibatan wanita dalam tindakan kriminal.[3]
                        1.            Pengaruh Biologis
Hormon dan Faktor keturunan baru pada tahun 1920 – an peneliti dapat meyakini adanya kromosom yang mengatur jenis kelamin pada manusia, biasanya disebut kromosom X dan Y. Kromosom mengandung materi genetis yang menentukan jenis kelamin. Manusia memiliki 46 kromosom yang tersusun berpasangan. Pasangan yang ke 23 dapat terdiri dari 2 kromosom X yang akan menghasilkan jenis kelamin perempuan atau bisa juga terdiri dari X dan Y yang akan menghasilkan laki – laki.[4]
                        2.            Pengaruh Sosial
Banyak ilmuwan sosial, seperti Alice Eagly (2002,2001); Eagly & Diekman (2003); Wood & Eagly (2002), menyatakan bahwa perbedaan psikologis antar jenis kelamin bukan disebabkan oleh disposisi evolusi biologis, tetapi adanya perbedaan peran dan posisi sosial antara laki – laki dan perempuan. Dalam masyarakat Amerika kontemporer dan kebanyakan masyarakat lainnya di dunia, perempuan memiliki status dan kekuatan yang lebih rendah dari laki – laki, dan kontrol terhadap sumber daya yang sedikit. Perempuan lebih banyak melakukan tugas domestik dibanding laki – laki, dan menghabiskan waktu lebih sedikit untuk pekerjaan yang digaji. Meskipun kebanyakan perempuan juga terlibat sebagai pekerja, mereka menerima gaji yang lebih rendah dari laki – laki dan hanya sedikit yang mencapai level atas dalam organisasi. Jadi dari sudut pandang pengaruh sosial, adanya hierarki gender dan pembagian jenis kelamin pekerja adalah penyebab penting terjadinya perilaku yang berbeda antar jenis kelamin. Perempuan akan mengambil peran dengan status dan kekuatan yang lebih rendah dalam masyarakat, mereka akan lebih mudah bekerja sama dan juga tidak sedominan laki – laki.
Ada dua teori penting yang membahas bagaimana anak memperoleh perilaku dan sikap maskulin atau feminim dari orang tua :
a)      Teori gender psikoanalisis
Tumbuh dari pandangan Freud yang menyatakan bahwa anak usia prasekolah mengembangkan ketertarikan sesksual terhadap orang tua yang berjenis kelamin berbeda darinya. Pada usia 5 – 6 tahun, anak menghentikan ketertarikan ini karena timbul kecemasan dalam dirinya. kemudian anak akan mengidentifikasi kan diri dengan orang tua yang berjenis kelamin sama dengan dirinya dan secara tidak sadar mengadopsi karakteristik orang tua tersebut.
b)      Teori gender kognitif – sosial
Menekankan bahwa perkembangan gender anak – anak terjadi melalui observasi dan imitasi dari perilaku gender, dan melalui proses reward dan punishment yang dialami oleh anak untuk perilaku yang sesuai atau tidak sesuai dengan gender tertentu.[5]
                        3.            Pengaruh Kognitif
Studi oleh Maccoby dan Jacklin (1974) menyimpulkan bahwa pria cenderung lebih baik pada penyelesaian tugas – tugas spasial dan tugas – tugas lain yang berhubungan dengan komponen spasial (keruangan). Namun studi yang dilakukan Berry sebelumnya (1966) menunjukkan bahwa perbedaan itu tidak muncul pada anak – anak pria maupun wanita dari budaya Inuit di Kanada. Sebab dimasyarakat Inuit, baik anak pria maupun wanita mendapat pelatihan yang banyak dan pengalaman yang dapat meningkatkan perolehan kemampua spasial. Berry,dkk., melaukan penelitian lagi untuk menguji perbedaan gender dengan menggunakan tugas menyususn pola geometrik tertentu dengan menggunakan balok – balok. Hasilnya menunjukkan variatif, di sejumlah negara ditemukan pria lebih baik, tetapi di negara – negara lain wanita lebih baik skornya. Berry, dkk (1992) akhirnya menyimpulkan bahwa keunggulan pria pada tugas spasial cenderung di temukan dalam budaya ketat (yang secara relatif homogen, tinggal menetap, dan bermata pencaharian pertanian, tetapi keunggulan wanita ditemukan dalam budaya yang lebih longgar, nomadik (berpindah – pindah tempat tinggalny) dan berburu atau pengumpul makanan. Dalam budaya ini, peran yang diperoleh pria dan wanita secara relatif fleksibel, karena anggota – anggota dalam masyarakat ini mengerjakan tugas – tugas yang bervariasi yang dikaitkan untuk mempertahankan kelangsungan hidup kelompoknya.
Hasil yang sama dilaporkan dalam riset meta analisis yang dilakukan oleh Born, Bleichrodt, dan Van der Flier (1987), yaitu bahwa tidak ada perbedaan gender yang ditemukan pada kecerdasan secara umum, namun ditemukan perbedaan gender dalam macam – macam subtes intelegensi, misalnya wanita cenderung memiliki skor lebih tinggi pada sub tes verbal, memory dan kecepatan perseptual. Sementara pria lebih unggul dalam sub tes numerik dan tugas perseptual lain (closure, orientasi, spatial visual).[6]


B.     Tren perkembangan Gender selama masa awal anak – anak
Pada umumnya anak usia 2 tahun sudah dapat menerapkan label laki – laki atau perempuan secara tepat atas dirinya sendiri dan orang lain. Meskipun demikian, pada usia ini anak belum memahami ketetapan gender (gender constancy). Konsepnya tentang gender lebih didasarkan pada ciri – ciri fiisk, seperti pakaian, model rambut atau jenis permainan. Pada umumnya anak – anak baru mencapai ketetapan gender pada usia 7 hingga 9 tahun.
Ketika konsep mereka tentang ketetapan gender terbentuk dengan jelas, anak – anak kemudian akan termotivasi untuk menjadi seorang alaki – laki atau perempuan yang sejati. Karena itu, ia akan meniru model – model perilaku dari jenis kelamin yang sama. Berikut ini akan dijelaskan dua tren penting dari perkembangan gender pada masa anak – anak, yaitu:
Permainan dan aktivitas
Perkembangan gender pada masa awal anak  anak dapat dilihat dari permainan dan aktivitas yang dilakukannya. Anak – anak usia antara 2 dan 3 tahun, telah mempelajari stereotip gender konvensional yang dihubungakan dengan berbagai aktivitas dan objek – objek umum. Mereka menghubungkan gender dengan mainan, seperti permainan mobil – mobilan adalah “untuk anak laki – laki” dan boneka “untuk anak perempuan”. Pada saat yang sama, mereka belajar mengasosiasikan jenis pakaian (rok untuk perempuan dan celana panjang untuk laki – laki), peralatan –peralatan umum (gergaji untuk laki – laki dan pengocok telur untuk perempuan_, dan permainan – permainan umum (permainan kelereng untuk laki – laki dan permainan memasak, boneka untuk perempuan).
Pada awal usia sekolah, mereka mulai menghubungkan keluarga dan pekerjaan tertentu dengan gender, sekalipun keluarga mereka tidak memperlihatkan pembagian tersebut. Mereka percaya bahwa perempuan tinggal dirumah untuk mengaasuh anak dan mengurus rumah tangga, sedangkan laki – laki pergi kelua untuk bekerja. karena itu, tidak heran kalau anak sering mengasosiasikan perawat adalah perempuan dan pilot adalah laki – laki.
Di dalam berbagai situasi, anak – anak yang muda belia memperkuat stereotip gender dengan memilih mainan dan aktivitas yang dihubungkan dengna jenis kelamin mereka. Alam kenyataannya, banyak anak yang benar  - benar tidak mau berman dengan permianan yang secara tegas mereka asosiasikan dengan gender lain. Terutama anak laki – laki , menunjukkan suatu kecenderungan untuk tidak mengakui sesuatu apapun yang berhubungan dengan perempuan dalam hidupnya, seperti menolak permainan boneka sebab itu adalah “permainan anak perempuan”. Teapi, anak perempua kehlihatannya sedikit ekstrem dalam menghindari permainan anak laki – laki dan lebih mungkin untuk bermain  main dengna truk dan balok ketimbang anak laki – laki yang bermain – main dengna dandanan pakaian.
Kualitas personal
Berbeda dengan permainan dan aktivitas, anak – anak prasekolah mengembangakn stereotip gender tentang kualitas pribadi relattif lebih lambat. Baru pada usia kira – kira 5 tahun anka – anak mulai mengetahui gender mana yang dianggap lembut, tenangdan lemah. Pengetahuan semacam ini terus berkembang sepanjang mas anak – anak dan remaja.
Belakangan ini, diusulkan teori gender skema untuk menjelaskan perkembangan pemahaman anak mengena gender. Skema adalah suatu struktur kogntif, yakni suatu jaringan asosiasi yang mengorganisir dan memandu persepsi – persepsi individu. Skema gender adaalh mengorganisir dunia dalam sudut pandnag perempuan dan laki – laki. Teori skema gender adalah pernyataan bahwa perhatian dan perilaku individu dipandu oleh motivasi internal untuk menyesuaiakn diri dengna standar – standar dan stereotip – stereotip sosial budaya yang berbasis gender.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa teori skema gender merupakan suatu bentuk kepercayaan dan stereotip tentang gender yang digunakan anak untuk mengorganisir informsi tentang karakteristik, pengalaman dan harapan dari hubungan gender. Teori skema gender menganjurkan bahwa “penentuan gender” terjadi ketika individu siap untuk mengkodekan dan mengorganisir informasi sesuai dengna apa yang dipangnang tapat atau khas bagi laki – laki atau bagi perempuan dalam suatu masyarakat.
Pemikiran skema gender seorang anak berkembang mellalui serangkaian tahap. Pertama, seorang anak mempelajari suatu hal yang secara langsung dihubungkan dengna masing – masing jenis kelamin, seperti, “anak laki – laki bermain dengna mobil” dan “nak perempuan bermain dengan boneka”. Kedua, sekitar usia 4 hingga 6 tahun, anak mulai mengembangkan asosiasi yang lebih kompleks dan tidak langsung terhadap infirmasi yang relevan atau jenis kelaminnya seniri, tetapi tidak untuk lawan jenis. Ketiga, pada usia kira – kira 8 tahun anak juga mempelajari asosiasi yang relevan terhadap lawan jenis dan telah menguasai konsep gambar kewanitaan (femininity) dan kelaki – lakian (masculinity).[7]

C.     Stereotip gender
Stereotip gender adalah kategori luas yang mencerminkan kesan umum dan kepercayaan kita mengenai perilaku apa yang sesuai untuk laki – laki dan perempuan.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan


DAFTAR PUSTAKA

Dayakisni, Tri dan Salis Yuniardi. 2012. Psikologi Lintas Budaya, cet-4. Malang: UMM Press.

Desmita.2005.  Pikologi Perkembangan. Bandung:Remaja Rosdakarya.

Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender dan transformasi sosial. Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset.

Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak, Ed.7. Jakarta:Erlangga.

Sarwono, Sarlito W. 2013. Psikologi Remaja, cet.16. Jakarta:Rajawali Press.




[1] Mansour Fakih,Analisis Gender dan transformasi sosial, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset, 1999), hlm.7-8.
[2] Sarlito W.Sarwono,Psikologi Remaja, cet.16 (Jakarta:Rajawali Press,2013), hlm.103 – 104.
[3] Sarlito W.Sarwono,Psikologi Remaja, ... hlm.106.
[4] John W. Santrock,Perkembangan Anak, Ed.7, (Jakarta:Erlangga,2007), hlm.85.
[5] John W. Santrock,Perkembangan Anak, ... , hlm.88
[6] Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi,Psikologi Lintas Budaya, cet-4 (Malang: UMM Press,2012), hlm.193.
[7] Desmita, Pikologi Perkembangan, (Bandung:Remaja Rosdakarya,2005), hlm.146 - 149

No comments:

Post a Comment