PERKEMBANGAN GENDER
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah
|
:
|
Psikologi Perkembangan
|
Dosen Pengampu
|
:
|
Musripah, M.A
|
Di
Susun Oleh :
Kelas
A
Nurul Huda
|
2022114056
|
Khizanaturrochmah
|
2022115007
|
Siddiq Permana
|
2022115055
|
|
|
JURUSAN PENDIDIKAN
BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN
ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI
(IAIN) PEKALONGAN
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa saja hal – hal yang mempengaruhi perkembangan gender?
2.
Bagaimana perkembangan gender selama masa anak – anak?
3.
Bagaimana stereotip gender?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui hal – hal yang mempengaruhi perkembangan gender.
2.
Untuk mengetahui perkembangan gender selama masa anak – anak.
3.
Untuk mengetahui stereotip gender.
BAB II
PEMBAHASAN
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dan kata
seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis
kelamin manusia yang ditentukan secara biologis. Misalnya bahwa laki – laki
adalah manusia yang memiliki penis dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan
memiliki alat reproduksi seperti rahim, vagina, dan memproduksi sel telur.
Sedangkan gender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki – laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan
itu dikenal lemah lembut, emosional atau keibuan, sementara laki – laki
dianggap kuat, rasional dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri dapat
dipertukarkan. Artinya ada laki – laki emosional, lemah lembuh dan keibuan,
sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri
dari sifat – sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke
tempat yang lain.[1]
A.
Hal – hal yang Mempengaruhi Perkembangan Gender
Dalam hubungan
ini Susan A. Basow pernah mengadakan penelitian lintas budaya tentang peranan
seksual. Penelitian itu dilakukan terhadap penduduk kepulauan Fiji yang terdiri
dari suku – suku bangsa Melanesia, India, Eropa dan Cina. Dari penelitiannya
diketahui bahwa dalam masyarakat dengan pola perawatan dan pengasuhan anak –
anak hanya semata – mata tanggung jawab wanita dan kekuatan fisik sangat
menentukan dalam kehidupan perekonomian, maka peran gender adalah paling tajam.
[2]
Dengan adanya
perubahan zaman menuju era industrialisasi, maka kehidupan keluarga seperti di
atas makin memudar. Akibatnya kesempatan anak untuk belajar peran gender juga
makin terbatas. Apalagi dengan majunya tingkat pendidikan wanita yang berakibat
pada meluasnya peran wanita kepada hal – hal yang dulunya hanya dikerjakan oleh
laki – laki. bahkan T.M. Hartnagel dalam penelitiannya yang berskala nasional
di Amerika Serikat (1982) membuktikan bahwa modernisasi punya pengaruh langsung
atas meningkatnya keterlibatan wanita dalam tindakan kriminal.[3]
1.
Pengaruh Biologis
Hormon dan Faktor keturunan baru pada tahun 1920 – an peneliti
dapat meyakini adanya kromosom yang mengatur jenis kelamin pada manusia,
biasanya disebut kromosom X dan Y. Kromosom mengandung materi genetis yang
menentukan jenis kelamin. Manusia memiliki 46 kromosom yang tersusun
berpasangan. Pasangan yang ke 23 dapat terdiri dari 2 kromosom X yang akan menghasilkan
jenis kelamin perempuan atau bisa juga terdiri dari X dan Y yang akan
menghasilkan laki – laki.[4]
2.
Pengaruh Sosial
Banyak ilmuwan sosial, seperti Alice Eagly (2002,2001); Eagly &
Diekman (2003); Wood & Eagly (2002), menyatakan bahwa perbedaan psikologis
antar jenis kelamin bukan disebabkan oleh disposisi evolusi biologis, tetapi
adanya perbedaan peran dan posisi sosial antara laki – laki dan perempuan.
Dalam masyarakat Amerika kontemporer dan kebanyakan masyarakat lainnya di
dunia, perempuan memiliki status dan kekuatan yang lebih rendah dari laki –
laki, dan kontrol terhadap sumber daya yang sedikit. Perempuan lebih banyak
melakukan tugas domestik dibanding laki – laki, dan menghabiskan waktu lebih sedikit
untuk pekerjaan yang digaji. Meskipun kebanyakan perempuan juga terlibat
sebagai pekerja, mereka menerima gaji yang lebih rendah dari laki – laki dan
hanya sedikit yang mencapai level atas dalam organisasi. Jadi dari sudut
pandang pengaruh sosial, adanya hierarki gender dan pembagian jenis kelamin
pekerja adalah penyebab penting terjadinya perilaku yang berbeda antar jenis
kelamin. Perempuan akan mengambil peran dengan status dan kekuatan yang lebih
rendah dalam masyarakat, mereka akan lebih mudah bekerja sama dan juga tidak
sedominan laki – laki.
Ada dua teori penting yang membahas bagaimana anak memperoleh
perilaku dan sikap maskulin atau feminim dari orang tua :
a)
Teori gender psikoanalisis
Tumbuh
dari pandangan Freud yang menyatakan bahwa anak usia prasekolah mengembangkan
ketertarikan sesksual terhadap orang tua yang berjenis kelamin berbeda darinya.
Pada usia 5 – 6 tahun, anak menghentikan ketertarikan ini karena timbul
kecemasan dalam dirinya. kemudian anak akan mengidentifikasi kan diri dengan orang
tua yang berjenis kelamin sama dengan dirinya dan secara tidak sadar mengadopsi
karakteristik orang tua tersebut.
b)
Teori gender kognitif – sosial
Menekankan
bahwa perkembangan gender anak – anak terjadi melalui observasi dan imitasi
dari perilaku gender, dan melalui proses reward dan punishment
yang dialami oleh anak untuk perilaku yang sesuai atau tidak sesuai dengan
gender tertentu.[5]
3.
Pengaruh Kognitif
Studi oleh Maccoby dan Jacklin (1974) menyimpulkan bahwa pria
cenderung lebih baik pada penyelesaian tugas – tugas spasial dan tugas – tugas
lain yang berhubungan dengan komponen spasial (keruangan). Namun studi yang
dilakukan Berry sebelumnya (1966) menunjukkan bahwa perbedaan itu tidak muncul
pada anak – anak pria maupun wanita dari budaya Inuit di Kanada. Sebab
dimasyarakat Inuit, baik anak pria maupun wanita mendapat pelatihan yang banyak
dan pengalaman yang dapat meningkatkan perolehan kemampua spasial. Berry,dkk.,
melaukan penelitian lagi untuk menguji perbedaan gender dengan menggunakan
tugas menyususn pola geometrik tertentu dengan menggunakan balok – balok.
Hasilnya menunjukkan variatif, di sejumlah negara ditemukan pria lebih baik,
tetapi di negara – negara lain wanita lebih baik skornya. Berry, dkk (1992)
akhirnya menyimpulkan bahwa keunggulan pria pada tugas spasial cenderung di
temukan dalam budaya ketat (yang secara relatif homogen, tinggal menetap, dan
bermata pencaharian pertanian, tetapi keunggulan wanita ditemukan dalam budaya
yang lebih longgar, nomadik (berpindah – pindah tempat tinggalny) dan berburu
atau pengumpul makanan. Dalam budaya ini, peran yang diperoleh pria dan wanita
secara relatif fleksibel, karena anggota – anggota dalam masyarakat ini
mengerjakan tugas – tugas yang bervariasi yang dikaitkan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup kelompoknya.
Hasil yang sama dilaporkan dalam riset meta analisis yang dilakukan
oleh Born, Bleichrodt, dan Van der Flier (1987), yaitu bahwa tidak ada
perbedaan gender yang ditemukan pada kecerdasan secara umum, namun ditemukan
perbedaan gender dalam macam – macam subtes intelegensi, misalnya wanita
cenderung memiliki skor lebih tinggi pada sub tes verbal, memory dan kecepatan
perseptual. Sementara pria lebih unggul dalam sub tes numerik dan tugas
perseptual lain (closure, orientasi, spatial visual).[6]
B.
Tren perkembangan Gender selama masa awal anak – anak
Pada umumnya anak usia 2 tahun sudah dapat menerapkan label laki –
laki atau perempuan secara tepat atas dirinya sendiri dan orang lain. Meskipun
demikian, pada usia ini anak belum memahami ketetapan gender (gender
constancy). Konsepnya tentang gender lebih didasarkan pada ciri – ciri
fiisk, seperti pakaian, model rambut atau jenis permainan. Pada umumnya anak –
anak baru mencapai ketetapan gender pada usia 7 hingga 9 tahun.
Ketika konsep mereka tentang ketetapan gender terbentuk dengan
jelas, anak – anak kemudian akan termotivasi untuk menjadi seorang alaki – laki
atau perempuan yang sejati. Karena itu, ia akan meniru model – model perilaku
dari jenis kelamin yang sama. Berikut ini akan dijelaskan dua tren penting dari
perkembangan gender pada masa anak – anak, yaitu:
Permainan dan aktivitas
Perkembangan gender pada masa awal anak anak dapat dilihat dari permainan dan
aktivitas yang dilakukannya. Anak – anak usia antara 2 dan 3 tahun, telah mempelajari
stereotip gender konvensional yang dihubungakan dengan berbagai aktivitas dan
objek – objek umum. Mereka menghubungkan gender dengan mainan, seperti
permainan mobil – mobilan adalah “untuk anak laki – laki” dan boneka “untuk
anak perempuan”. Pada saat yang sama, mereka belajar mengasosiasikan jenis
pakaian (rok untuk perempuan dan celana panjang untuk laki – laki), peralatan
–peralatan umum (gergaji untuk laki – laki dan pengocok telur untuk perempuan_,
dan permainan – permainan umum (permainan kelereng untuk laki – laki dan permainan
memasak, boneka untuk perempuan).
Pada awal usia sekolah, mereka mulai menghubungkan keluarga dan
pekerjaan tertentu dengan gender, sekalipun keluarga mereka tidak
memperlihatkan pembagian tersebut. Mereka percaya bahwa perempuan tinggal
dirumah untuk mengaasuh anak dan mengurus rumah tangga, sedangkan laki – laki
pergi kelua untuk bekerja. karena itu, tidak heran kalau anak sering
mengasosiasikan perawat adalah perempuan dan pilot adalah laki – laki.
Di dalam berbagai situasi, anak – anak yang muda belia memperkuat
stereotip gender dengan memilih mainan dan aktivitas yang dihubungkan dengna
jenis kelamin mereka. Alam kenyataannya, banyak anak yang benar - benar tidak mau berman dengan permianan
yang secara tegas mereka asosiasikan dengan gender lain. Terutama anak laki –
laki , menunjukkan suatu kecenderungan untuk tidak mengakui sesuatu apapun yang
berhubungan dengan perempuan dalam hidupnya, seperti menolak permainan boneka
sebab itu adalah “permainan anak perempuan”. Teapi, anak perempua kehlihatannya
sedikit ekstrem dalam menghindari permainan anak laki – laki dan lebih mungkin
untuk bermain main dengna truk dan balok
ketimbang anak laki – laki yang bermain – main dengna dandanan pakaian.
Kualitas personal
Berbeda dengan permainan dan aktivitas, anak – anak prasekolah
mengembangakn stereotip gender tentang kualitas pribadi relattif lebih lambat.
Baru pada usia kira – kira 5 tahun anka – anak mulai mengetahui gender mana
yang dianggap lembut, tenangdan lemah. Pengetahuan semacam ini terus berkembang
sepanjang mas anak – anak dan remaja.
Belakangan ini, diusulkan teori gender skema untuk menjelaskan
perkembangan pemahaman anak mengena gender. Skema adalah suatu struktur
kogntif, yakni suatu jaringan asosiasi yang mengorganisir dan memandu persepsi
– persepsi individu. Skema gender adaalh mengorganisir dunia dalam sudut
pandnag perempuan dan laki – laki. Teori skema gender adalah pernyataan bahwa
perhatian dan perilaku individu dipandu oleh motivasi internal untuk
menyesuaiakn diri dengna standar – standar dan stereotip – stereotip sosial
budaya yang berbasis gender.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa teori skema gender merupakan
suatu bentuk kepercayaan dan stereotip tentang gender yang digunakan anak untuk
mengorganisir informsi tentang karakteristik, pengalaman dan harapan dari
hubungan gender. Teori skema gender menganjurkan bahwa “penentuan gender”
terjadi ketika individu siap untuk mengkodekan dan mengorganisir informasi
sesuai dengna apa yang dipangnang tapat atau khas bagi laki – laki atau bagi
perempuan dalam suatu masyarakat.
Pemikiran skema gender seorang anak berkembang mellalui serangkaian
tahap. Pertama, seorang anak mempelajari suatu hal yang secara langsung
dihubungkan dengna masing – masing jenis kelamin, seperti, “anak laki – laki
bermain dengna mobil” dan “nak perempuan bermain dengan boneka”. Kedua,
sekitar usia 4 hingga 6 tahun, anak mulai mengembangkan asosiasi yang lebih
kompleks dan tidak langsung terhadap infirmasi yang relevan atau jenis
kelaminnya seniri, tetapi tidak untuk lawan jenis. Ketiga, pada usia
kira – kira 8 tahun anak juga mempelajari asosiasi yang relevan terhadap lawan
jenis dan telah menguasai konsep gambar kewanitaan (femininity) dan
kelaki – lakian (masculinity).[7]
C.
Stereotip gender
Stereotip
gender adalah kategori luas yang mencerminkan kesan umum dan kepercayaan kita
mengenai perilaku apa yang sesuai untuk laki – laki dan perempuan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Dayakisni,
Tri dan Salis Yuniardi. 2012. Psikologi Lintas Budaya, cet-4. Malang:
UMM Press.
Desmita.2005. Pikologi Perkembangan. Bandung:Remaja
Rosdakarya.
Fakih,
Mansour. 1999. Analisis Gender dan transformasi sosial. Yogyakarta:Pustaka
Pelajar Offset.
Santrock,
John W. 2007. Perkembangan Anak, Ed.7. Jakarta:Erlangga.
Sarwono,
Sarlito W. 2013. Psikologi Remaja, cet.16. Jakarta:Rajawali Press.
[1] Mansour Fakih,Analisis
Gender dan transformasi sosial, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset,
1999), hlm.7-8.
[2] Sarlito
W.Sarwono,Psikologi Remaja, cet.16 (Jakarta:Rajawali Press,2013),
hlm.103 – 104.
[3] Sarlito
W.Sarwono,Psikologi Remaja, ... hlm.106.
[4] John W.
Santrock,Perkembangan Anak, Ed.7, (Jakarta:Erlangga,2007), hlm.85.
[5] John W.
Santrock,Perkembangan Anak, ... , hlm.88
[6] Tri Dayakisni
dan Salis Yuniardi,Psikologi Lintas Budaya, cet-4 (Malang: UMM
Press,2012), hlm.193.
[7] Desmita, Pikologi
Perkembangan, (Bandung:Remaja Rosdakarya,2005), hlm.146 - 149
No comments:
Post a Comment